Sebuah Refleksi tentang Guru, Kurikulum, dan Kompetensi untuk pendidikan Indonesia lebih baik
Sebuah Refleksi tentang Guru, Kurikulum, dan Kompetensi untuk pendidikan Indonesia lebih baik
Oleh :Dr.Romi Siswanto,S.Sos.Msi (Direktur UT Pontianak)
1. Permasalahan Guru dari Masa ke Masa
Permasalahan guru di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak era kolonial hingga masa kini, profesi guru menghadapi tantangan yang kompleks dan berlapis. Pada masa penjajahan Belanda, guru pribumi sering kali diposisikan sebagai pelengkap administratif dan bukan agen perubahan. Pasca kemerdekaan, semangat nasionalisme mendorong banyak masyarakat menjadi guru, tetapi tanpa dibarengi peningkatan kualitas pendidikan guru secara sistemik. Akibatnya, pendidikan berjalan tanpa visi jangka panjang yang kuat, sehingga kualitas guru pun berkembang secara tidak merata.
Memasuki era Orde Baru, guru ditempatkan sebagai “ujung tombak” pembangunan bangsa, tetapi ironisnya justru dibatasi oleh kebijakan politik sentralistik. Sertifikasi guru baru muncul pada era reformasi, sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas dan kesejahteraan. Namun, sertifikasi tak serta-merta meningkatkan mutu, sebab fokusnya lebih kepada administrasi daripada peningkatan kapasitas pedagogik yang sebenarnya (Susanto, 2013). Hingga hari ini, masih banyak guru yang belum memiliki akses pelatihan berkualitas, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Permasalahan guru saat ini lebih kompleks, karena selain dituntut menguasai materi, mereka juga harus memahami teknologi, sosial-emosional siswa, serta kurikulum yang terus berubah. Beban administratif yang tinggi kerap mengalahkan waktu refleksi dan pengembangan profesional. Tantangan ini menunjukkan bahwa problematika guru bukan hanya soal jumlah, tetapi juga menyangkut kualitas, pemerataan, dan kesinambungan pengembangan kompetensi yang belum sistematis.
2. Kurikulum sebagai Alat, Bukan Halangan
Kurikulum seharusnya dipahami sebagai alat atau perangkat, bukan sebagai tujuan akhir dalam proses pembelajaran. Kurikulum dirancang untuk memberikan arah, tetapi guru memiliki otonomi pedagogik untuk menyesuaikan dengan kebutuhan siswa dan konteks lokal. Di Indonesia, kurikulum kerap menjadi isu besar karena setiap pergantian menteri sering kali diiringi dengan perubahan kurikulum yang substansial. Hal ini mencerminkan absennya cetak biru (blueprint) pendidikan nasional yang ajeg dan konsisten lintas rezim pemerintahan (Fahmi, 2020).
Peta jalan pendidikan yang telah disusun hingga 2030 pun belum dijadikan pedoman utama oleh pengambil kebijakan. Banyak dokumen strategis hanya menjadi formalitas tanpa diimplementasikan secara nyata di lapangan. Akibatnya, guru dan siswa menjadi korban dari ketidakpastian kebijakan. Seharusnya, selama pesan moral dan nilai-nilai karakter dapat disampaikan secara efektif di ruang kelas, maka kurikulum tidak perlu dipermasalahkan secara berlebihan. Fokus utama adalah bagaimana guru mampu membumikan nilai-nilai dalam kehidupan siswa sehari-hari, bukan sekadar menuntaskan kompetensi dasar yang bersifat administratif.
Pendidikan ideal bukan ditentukan oleh nama kurikulum yang digunakan, melainkan oleh bagaimana kurikulum tersebut diimplementasikan. Guru yang kreatif dan memahami kebutuhan siswa akan mampu mentransformasi bahkan kurikulum yang kaku menjadi pengalaman belajar yang bermakna. Maka, diskursus seputar kurikulum sebaiknya tidak mengaburkan esensi pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia (Tilaar, 2002).
3. Penguatan Kompetensi Guru Secara Berkala dan Sistematis
Salah satu strategi jangka panjang untuk memperbaiki kualitas pendidikan adalah melalui penguatan kompetensi guru yang terukur dan berkelanjutan. Guru ideal setidaknya memiliki empat kompetensi utama: kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian (UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Namun dalam praktiknya, belum ada mekanisme evaluasi yang rutin dan komprehensif untuk mengukur keempat dimensi tersebut secara berkala.
Sudah saatnya dilakukan asesmen kompetensi guru secara sistematik minimal setiap enam bulan atau setahun sekali. Proses ini tidak hanya berfungsi sebagai pemetaan kekuatan dan kelemahan, tetapi juga sebagai landasan penyusunan program pengembangan guru berbasis kebutuhan nyata. Misalnya, guru yang kurang dalam kompetensi pedagogik bisa diarahkan untuk mengikuti pelatihan metodologi pembelajaran aktif, sedangkan guru yang lemah dalam kompetensi sosial bisa mengikuti lokakarya komunikasi efektif dan manajemen konflik.
Langkah ini menuntut adanya filtering berbasis data. Setiap guru sebaiknya memiliki portofolio digital kompetensi yang diperbarui secara periodik. Data ini menjadi dasar dalam melakukan upskilling (peningkatan keterampilan) dan reskilling (penyesuaian keterampilan) melalui pelatihan berbasis kebutuhan individu, bukan sekadar pelatihan massal tanpa segmentasi. Dengan demikian, program pengembangan tidak bersifat seragam, melainkan personal dan kontekstual sesuai kebutuhan masing-masing guru.
Lebih dari itu, sistem ini perlu didukung oleh regulasi dan insentif yang memadai. Guru yang berhasil meningkatkan kompetensinya perlu diapresiasi, sementara yang belum memenuhi standar perlu mendapatkan pendampingan. Kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga pengembangan profesi sangat penting untuk mewujudkan ekosistem pembelajaran guru yang berkelanjutan. Dengan pendekatan ini, guru tidak hanya menjadi pelaksana kurikulum, melainkan juga inovator pendidikan yang adaptif.
4. Untuk Pendidikan Indonesia yang Lebih Baik
Masa depan pendidikan Indonesia sangat ditentukan oleh kualitas guru dan keberanian untuk menata ulang sistem pendidikan yang selama ini berjalan reaktif, bukan proaktif. Langkah perbaikan harus dimulai dari hal mendasar: memberikan kepercayaan dan dukungan penuh kepada guru sebagai aktor utama pendidikan. Kurikulum harus dirancang sebagai panduan yang fleksibel, bukan beban administratif. Di sisi lain, guru wajib mengembangkan dirinya secara berkelanjutan dengan dukungan negara dan masyarakat.
Pendidikan bukan hanya soal angka kelulusan atau akreditasi lembaga, tetapi tentang menciptakan manusia Indonesia yang utuh, bermoral, berpengetahuan, dan siap menghadapi tantangan zaman. Untuk itu, diperlukan keseriusan dalam merumuskan kebijakan yang konsisten, pelaksanaan asesmen kompetensi guru yang reguler, serta penguatan ekosistem belajar yang merdeka dan bermakna.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Maka, pendidikan Indonesia harus ditata kembali dengan mengutamakan keberlanjutan, kualitas guru, dan kemerdekaan belajar sebagai pilar utama.
⸻
Referensi:
• Fahmi, M. (2020). Pendidikan dan Dinamika Kebijakan Kurikulum di Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
• Susanto, A. (2013). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Bumi Aksara.
• Tilaar, H.A.R. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.