Ketika Buku Tak Lagi Bermakna, Tergerus Media Sosial dan AI
Catatan di Hari Buku Nasional:
Ketika Buku Tak Lagi Bermakna, Tergerus Media Sosial dan AI
Oleh: L. Sahat Tinambunan
Dulu, pepatah mengatakan jikalau buku adalah jendela utama dunia. Dari lembar-lembar kertas, lahir peradaban, kritik, sastra, dan ilmu pengetahuan. Dari lembar-lembar kertas itu segala hal di dunia ini kita coba kenali dan pahami. Ia menggugah semangat keinginan tahuan kita, semangat berpikir dan semangat mempelajari. Kita menjadi manusia pembelajar yang kritis dan analisis
Namun hari ini, makna buku seolah terpinggirkan, digeser oleh kecepatan dan instanisme media sosial serta kecanggihan kecerdasan buatan (AI).
Di era digital ini, pertanyaan yang menggelitik adalah: apakah buku masih relevan?
Media sosial telah mengubah cara manusia mengonsumsi informasi. Ketimbang membaca satu bab penuh, kita lebih memilih menyimak thread pendek, video singkat, atau kutipan-kutipan yang memikat yang tersebar masif dan berseliweran digenggaman kita melalui Handpone, dari Facebook, IG, Tiktok, Wa dan aplikasi medsos lainnya.
Dalam hitungan detik, ribuan informasi membanjiri pikiran—tanpa kedalaman, tanpa konteks. Literasi menjadi superfisial, dan membaca bergeser dari kegiatan kontemplatif menjadi konsumsi kilat.
Kemudian datanglah AI. Teknologi ini, walau mempermudah hidup, juga mengancam proses berpikir kritis. Mengapa membaca buku tebal jika AI bisa merangkum isi dan menjawab pertanyaan hanya dalam beberapa detik?
Buku tidak lagi menjadi proses, melainkan sumber daya yang dipadatkan oleh algoritma. Kita lupa bahwa memahami buku bukan hanya soal isi, tapi perjalanan memahami—melatih kesabaran, mengasah nalar, dan membangun kedalaman.
Karya sastra salah satu jenis buku yang paling terdampak oleh perubahan ini, seperti novel. Padahal, novel bukan sekadar cerita. Ia adalah medium yang menyuarakan nilai-nilai universal kemanusiaan—empati, keadilan, penderitaan, cinta, dan harapan.
Dari Les Misérables karya Victor Hugo, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, hingga Animal Farm karya George Orwell, setiap novel mengajak pembacanya menyelami kompleksitas manusia dan dunia. Sastra mengajarkan kita memahami yang berbeda, merasakan yang jauh, dan merenungi yang tak terlihat. Itulah kekuatan yang tidak bisa digantikan oleh video pendek atau ringkasan AI.
Namun, menyalahkan media sosial dan AI sepenuhnya tidaklah bijak. Teknologi adalah alat. Yang hilang sesungguhnya adalah semangat manusia untuk mencari dan menikmati makna secara perlahan. Kita hidup dalam zaman yang cepat, tapi bukan berarti harus kehilangan kedalaman. Buku adalah simbol dari proses intelektual yang panjang—dan justru karena itu, menjadi antitesis penting dari budaya instan.
Jika buku tak lagi bermakna, bukan karena ia tak berharga, melainkan karena kita yang lupa menghargainya. Maka tugas kita adalah mengembalikan kesadaran bahwa di balik setiap halaman, ada dunia yang menanti untuk dijelajahi. AI dan media sosial bisa membantu, tapi jangan sampai menggantikan proses berpikir dan perasaan kita sepenuhnya. Karena hanya lewat proses itulah, kita tetap bisa menjadi manusia seutuhnya.
Hari ini, 17 Mei adalah moment peringatan “Hari buku nasional” – Sepatutnya menjadi renungan baik kita, untuk merefleksi ulang betapa pentingnya sebuah buku, lalu membalik lembar demi lembarnya, menyusuri kata demi kata dalam diam. Bukankah kalimat-kalimat itu bermakna, meminta kita menjawab dalam pikir. Ah, Jangan-jangan kita memang malas berpikir, termanjakan oleh mata dengan nikmatnya hujanan informasi yang tiada henti dari medsos dari segala penjuru.
~Pecinta Buku~
Tentang penulis:
Jurnalis, Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Landak, Wakil Ketua PWI Kalbar, Kepala Sentra Layanan UT Landak dan Pengajar